Kamis, 18 Juni 2015

Pemain Drama Musikal "Legenda Embun Cinta"


Cerita Rakyat Malin Kundang


KLEIN karya Ines Krisantia


KLEIN
Karya : Ines Krisantia



Klein, ya, itulah namanya. Seorang anak bangsawan yang sikapnya jauh didawah angka minus . Klein selalu mendapat segala sesuatu yang ia inginkan, kecuali satu  kasih sayang dari kedua orang tuanya. Pagi hingga malam, malam hingga pagi waktu terus berjalan dan dihabiskan untuk bekerja. Bekerja dan bekerja tanpa memperhatikan anak semata wayang mereka.   Hal itu membuat Klein tumbuh menjadi anak yang keras kepala, egois, angkuh, dan tidak pernah memperhatikan dunia di sekelilingnya.
“Mbok! Ambilkan pakaian seragam Ku! Cepat!” seru Klein di hari pertamanya mempersiapkan diri bersekolah.
Hari itu adalah hari pertamanya duduk dibangku sekolah dasar. Malas, malas, dan malas. Sikap yang selalu melekat erat pada dirinya. Perjalanan yang cukup memakan waktu untuk sampai ke sekolah barunya itu.  Waktu berlalu dan Ia pun sampai disekolah. “SD Abdi Permata Sakti” sekolah favorit dan ternama di Jakarta.  Klein masuk ke kelas barunya dengan wajah datar seakan tidak memiliki semangat untuk  mengisi hari harinya. “Kelas baru, teman baru, guru baru, dan pelajaran baru, yang akan mengisi hari-hariku dengan kesuraman” suara yag selalu terngiang dikepalanya.
Belpun berbunyi, tanda akan dimulainya pelajaran hari pertama. Hari itu dimulai dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Terpikir di benaknya, “IPS? Membosankan! Lebih baik aku tidur dan memikirkan apa yang akan kumakan istirahat nanti!”
Belpun berbunyi kembali, tanda istirahat akan dimulai. “Bangun...Bangun Klein bangun!” Suara lembut Bu Fatma yang membuatnya terbangun dari mimpi. “Sudah istirahat, Nak. Sana kamu istirahat.”
“Baik bu.” Sahut Klein. “Kenapa Bu Fatma  tidak memarahiku, tapi dia malah membangunkan dengan bisikan lembut seperti malaikat surga.” Pikir Klein dalam benaknya. Kejadian tadi membuatnya selalu ingin tahu mengapa seorang guru yang belum mengenal sikapnya, biasa sabar menghadapinya.
Bel kedua berbunyi tanda istirahat selesai , Klein bergegas menuju kelas, ia ingin melihat sosok Bu Fatma di kelasnya. Sesampainya di kelas, ia melihat guru malaikat itu sedang membereskan meja belajarnya. Meja Klein memang sangat berantakan, buku cetak di bawah lantai, tempat pensil di atas meja, dan masih banyak peralatan sekolahnya yang bertebaran di sekitar meja belajarnya itu.
“Bu Fatma, maaf tadi saya tertidur di kelas” ucap Klein dengan nada penuh penyesalan. “Jujur mengapa aku merasa menyesal atas perbuatanku? “pertanyaan pertama yang muncul dibenaknya. Lalu Bu Fatma berkata “Ya Nak, ibu maafkan, lain kali jangan begitu lagi ya.” “Baik bu.” Jawab Klein.
Bel pulang sekolahpun tiba, Klein berjalan menuju mobil di halaman parkir sekolah. Seperti biasa kedataran ekspresi yang menghiasi wajahnya. Tapi ada sau hal aneh yang dilihat oleh Mbok Sari, tidak ada teriakan yang keluar dari mulut imut Klein. Klein duduk di kursi belakang mobil, ia menghadap ke luar jendela, sepanjang perjalanan pulang ke rumah ia merenung seakan-akan memikirkan hutang negara.
Klein turun dari mobil mewahnya, ia berlari ke lantai dua, ia masuk kamar, menutup pintu, dan iapun kembali merenung. Merenung hingga terlelap, sampai hari esokpun datang. Ia segera masuk kamar mandi untuk membersihkan sekujur badannya yang penuh dengan keringat.
Hampir saja ia terlambat sampai di sekolah. Ia duduk di kursi belajarnya dan kembali merenung. Hidupnya hanya penuh dengan penasaran yang mendalam, ia seperti baru merasakan kasih sayang dari seseorang yang baru dikenalnya.
Belpun berbunyi, tanda akan segera dimulainya pelajaran hari itu, ilmu pengetahuan sosial menjadi santapan pertama para murid. Bukan malas yang dirasakan Klein namun semangat yang membara.
“Hari ini kita akan belajar mengenai pahlawan wanita yang sangat berjasa” sambut Ibu Fatma. Dengan semngat, Klein mengacungkan tangannya “Apa arti pahlawan yang sebenarnya bu?” tanya Klein dengan penuh semangat. Mungkin ini adalah kali pertama iya mempunyai semangat hidup dalam sejarahnya. “Pahlawan adalah orang yang rela berkorban, memberikan segala sesuatu yang ia punya, bahkan jika itu nyawanya, ia akan memeberikannya. Pahlawan adalah orang yang mementingkan kepentingan kalian daripada kepentingan dirinya sendiri Jika kalian ingin melihat pahlawan yang sesungguhnya, kalian bisa melihat orang tua kalian, mama dan papa kalian. Mengerti Klein?” jelas Bu Fatma. “Tapi bu, kenapa Mama dan Papa jarang sekali memeluk ku?” tanya Klein dengan mata berkunang-kunang. “Istirahat nanti kau boleh bercerita dengan Ibu jika kamu mau Klein, ibu ada di kelas. Baik sekarang kita lanjutkan.” Klein hanya mengangguk dan Ibu Fatmapun tersenyum. “Kartini adalah salah satu pahlawan Indonesia, yang memperjuangkan martabat wanita pada zamannya.” Jelas Bu Fatma. Klein kembali bertanya “Bu, apakah kita bisa menjadi pahlawan untuk zaman kita?” bertepatan Klein selesai bertanya, bel istirahat berbunyi. “Pertanyaan mu akan Ibu jawab setelah istirahat ya.”
Teman-teman Klein adu cepat untuk keluar dari kelas, sementara Klein menghampiri Bu Fatma dan bercerita tentang tekanan dari orang tua yang dia alami. Setelah Klein selesai bercerita, Bu Fatma berusaha menghapus air mata di pipinya dan menenangkan hati Klein. “Mereka sangat menyayangimu Nak, namun mereka menyampaikannya dengan cara yang tidak biasa dan berbeda dengan orang tua teman-teman mu.” Tutur Bu Fatma yang berusaha meyakinkan Klein bahwa kedua orang tuanya sangat sayang padanya. “Tapi mengapa mereka tidak pernah memeluku bahkan menciumku pun jarang sekali Bu.” Jawab Klein sambil terus meneteskan air matanya. “ Mereka sayang padamu, oleh karena itu mereka bekerja keras demi masa depanmu Nak.” Jawab Bu Fatma. “Oh begitu ya Bu?”  Tanya klein penasaran. “Iya Nak. Ya sudah sana kamu istirahat.” Kata Bu Fatma. Namun bel istihat berkata lain, baru saja Klein berdiri dari kursinya, bel tanda istirahat selesai berbunyi. Akhirnya Klein kembali duduk di kursi belajarnya.
“Baik, Ibu akan menjawab pertanyaan dari teman kalian, Klein.” kata Bu Fatma. “Seperti yang ibu jelaskan tadi, pahlawan adalah orang yang rela berkorban untuk sesamanya, orang yang rela membantu, dan lain sebagainya. Jadi, tentu kalian bisa menjadi pahlawan, dengan kalian mengajari teman kalian, membantu mbak kalian dirumah, membantu orang tua kalian, hal itu sudah menjadikan kalian sebagai seorang pahlawan.” Jelas Bu Fatma. “Jadi bagaimana? Apakah ada diantara kalian yang ingin menjadi pahlawan masa kini?” Tanya Bu Fatma. Serempak dan sangat kompak satu kelas mengangkat takan dan menjawab  “Saya Bu!”
Sejak saat itu, Klein bertekat utuk mengubah sikapnya, ia ingin menjadi anak pintar, rajin, sopan. Dan rendah hati. Ia terus belajar dan belajar. Menjadi pintar dan semakin pintar. Sampai satu tahun berlalu.
Hari itu adalah hari pertama Klein menerima rapor. “Ayolah, Ma, Pa, Aku tidak akan mengecewakan kalian.” rayu Klein dengan nada memelasnya itu. Kedua orang tua Klein tidak tahu usaha Klein selama ini, dan mereka berfikir Klein akan mendapat hasil yang jelek. Namun, akhirnya mereka mengatakan “Ya.”
Sesampainya disekolah Klein menarik tangan kedua orang tuanya. ‘Ma, Pa, ayo sini kita ke Bu Fatma.” Tanpa berfikir panjang orang tua Klein mengikuti anak semata wayangnya itu. Mereka tiba di ruang guru dan Klein segera memperkenalkan mereka kepada Bu Fatma.
“Selamat Pak, Bu, anak anda menjadi juara satu dikelasnya.” Ucap Bu Fatma. “Really?  tanya kedua orang tua Klein kaget. “Sudah ku bilang aku tak akan mengecewakan kalian.” Ujar Klein. “Kami sangat bangga pada mu Nak.” Kata papa Klein. Bu Fatma tersenyum lebar melihat mereka bertiga berpelukan. Betapa bahagianya Klein, hari itu hari pertama dimana kedua oang tuanya memeluk dan menciumnya dengan tulus dan dengan senyuman.
Mereka pulang dengan wajah gembira. Saat perjalanan pulang Klein bercerita tentang pengalamannya di sekolah selama ini dan dia juga mengatakan bahwa dia ingin menjadi pahlawan di masanya. Kedua orang tuanya tertawa terbahak bahak mendengan cita-cita Klein. Namun Klein tidakk goyah. Tak lama mereka berhenti di sebuah rumah makan, di depan rumah makan itu, ada seorang pengemis tua, Klein merasa kasihan dan memberikan seluruh isi dompetnya kepada sang pengemis tua. Mama Klein heran dan berkata “Sejak kapan kau rela berbagi?” Lalu Klein menjawab “ Sejak Bu Fatma mengatakan bahwa kita bisa menjadi pahlawan walau hanya untuk sesama kita, dan sejak aku bercita-cita menjadi pahlawan di masa ku, serta sejak aku sadar bahwa mama dan papa adalah pahlawan ku sejak kecil.” Mama dan Papanya memeluk erat Klein dan mencuium keningnya sambil mneteskan air mata kebahagiaan. “Kau adalah pahlawan kecil kami Nak.” Ucap papa Klein penuh haru. “benarkah aku telah menjadi pahlawan?”tanya Klein. “Kami sangat menyayangimu dan tak pernah melupakan itu, Nak. Maafkan kami yang kurang memeperhatikan mu selama ini, kami berjanji akan sealalu ada disamping mu mulai hari ini.” kata mama Klein. “Aku juga sayang kalian. Tapi benarkah aku adalah pahlawan?” tanya Klein lagi. “Ya, kau adalah pahlawan kami, pahlawan bapak tua itu dan pahlawan semua orang disekitarmu saat ini.” ucap papa Klein dengan nada penuh kebanggaan.
Sejak saat itu mereka menjadi keluarga yang sangat harmonis. Kedua orang tuanya selalu mendidik Klein menjadi pribadi seorang pahlawan,  yang rela berkorban, rela membantu, dan selalu memiliki semangat juang. Tahun demi tahun berlalu, Klein tumbuh menjadi anak yang berbakti pada orang tua, rendah hati, dan sekarang dia telah menjadi orang sukses. Ia tidak pernah melupakan jasa Bu Fatma yang telah membuatnya seperti ini. Saat ini Klein bekerja di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Sebagai seorang pemimpin, ia selalu berjiwa besar kepada karyawan-karyawannya. Ia tak pernah melupakan orang yang belum sesukses dirinya sat ini, ia selalu berbagi dengan orang kecil disekitarnya, dan ya. Ia telah menjadi “PAHLAWAN MASA KINI” yang sesungguhnya.



PAIN karya Xaviera Leony




PAIN
Oleh: Xaviera Leony

"Lex, apakah cluster headache itu seperti sakit kepala?"
"Ya, tapi lebih sakit,"
"Apakah bisa disembuhkan?"
"Tidak. Tetapi tidak berbahaya,"
                              
          * * *
   Aku terbangun. Kupandangi langit-langit tempatku berbaring sekarang, ''pingsan lagi," gumamku, bosan.
   "Grace? Kau sudah bangun?" Alex sahabatku dengan wajah cemas. Aku menoleh, kemudian memejamkan kembali mataku.
   "Aku baik-baik saja," jawabku malas, badanku terasa lelah. Kudengar Alex menghela napas berat, aku yakin ia pasti telah memutar bola matanya padaku.
   "Bangun, bodoh!" suara Alex agak keras, aku tahu ia pasti kesal, "sekarang sudah hampir jam 5 sore, kita harus pulang," nadanya terkesan tidak sabaran, ia kemudian menggerak-gerakkan badanku, memaksaku untuk bangun. Dengan malas aku bangun dari pembaringan UKS yang hampir setiap hari menjadi tempat bersemayamku.
   "Kau ini kenapa sih?" tukasku tidak kalah kesal, aku membuka pintu UKS dan mengambil tas ku.
   "Kau yang kenapa! Kau tidak pernah memberitahuku mengapa kau selalu pingsan setiap harinya. Kita sudah bersahabat 3 tahun dan selama itu kau tidak pernah memberitahuku alasannya padahal aku sudah sering menanyakan. Beritahu aku Grace!" Aku menoleh kaget, rahang Alex menegang. Ia mem
asukkan tangannya ke kantung jaketnya lalu ia berjalan tergesa-gesa dan terburu-buru mendahuluiku. Ia pasti marah.
   Aku mengejar Alex sambil berusaha menyamakan langkah kami. Aku yang berdiri di
dekatnya dapat mencium seperti bau darah dari area sekitar wajahnya, akupun bingung mengapa bau keringat Alex aneh seperti itu. Pandangan Alex lurus ke depan, seperti enggan menatapku, "Jantungku lemah, Jantungku menjadi semakin lemah setiap harinya, dan waktuku tidak lama lagi," ucapku pelan. Alex menoleh.
   Sore itu kami pulang berjalan kaki seperti biasanya, sebenarnya aku tahu bahwa  Alex memiliki motor di garasinya dan tentu bisa mengendarainya, tapi entah mengapa ia tak pernah menggunakan motor tersebut.
   Tapi yasudahlah, aku sudah cukup lelah hari ini.
                                                               * * *
   Hari-hariku berlangsung sangat membosankan, seperti biasanya. Pingsan, terbangun di UKS, pulang bersama Alex dan sampai rumah harus mengejar pelajaran yang kulewatkan saat terbaring layaknya mayat di UKS. Aku jarang berobat, aku malas bercengkrama dengan pengobatan yang memuakkan. Toh, terakhir kali aku memeriksa keadaanku, dokter menjelaskan bahwa karna kerja jantungku yang lemah ini, terjadi penyumbatan aliran darah dalam tubuhku, sehingga darah tidak mengalir lancar dan proses kehidupan dalam tubuhku menjadi amat sangat terganggu, dan itu berbahaya. Dokter juga mengatakan bahwa waktuku sudah tidak lama lagi, tersisa kira-kira 3 minggu bagiku untuk mencari jantung baru. Ya jadi, untuk apa aku mengecek keadaan jantung sialan ini?
                                                              * * *
   Hari itu berbeda. Aku terbangun di ruang UKS pukul 4 sore kurang sedikit, lebih cepat dari biasanya. Dan aku sendirian. 'Dimana Alex?'pikirku, ini tidak seperti biasanya. 'Ah mungkin ia sudah pulang,' dengan sekali gerakan aku sudah turun dari ranjang UKS dan bergegas keluar sambil menenteng tas ranselku.
   Duk! Duk! Duk!
   Hey! Bunyi berisik apa itu? Asalnya terdengar dari taman belakang sekolah. 'Apapun itu harus kuhentikan! Berisik sekali!' Aku bergegas ke asal suara dan alangkah terkejutnya aku melihat pemandangan gila yang membuat adrenalinku terpacu. Apapun yang aku lihat di depan sini, aku tidak akan pernah mempercayainya. Aku langsung berlari kearah Alex dan menariknya, berusaha menghentikannya. Alex menggila, ia meronta dan mengerang seperti kesetanan, aku terus berusaha memegangnya, berharap ia menghentikan tindakan mengerikannya itu. Aku tidak peduli bila seragamku penuh noda darah karna tindakan Alex. 
   Duk! Duk! Duk!
   Bunyi gila itu menyayat hatiku, aku terduduk lemas, melepaskan cengkramanku pada Alex, membiarkannya melakukan tindakan brutal tersebut. Tanpa sadar aku menitikkan air mata, aku khawatir melihat Alex yang mengerang kesakitan sambil terus menghantamkan kepalanya ke tembok belakang sekolah. Ia menghantamkan kepalanya bertubi-tubi ke dinding bercat putih tersebut hingga meninggalkan bercak merah dan menghasilkan darah yang mengalir lancar dari dahinya. Aku menangis, aku takut terjadi apa-apa pada Alex. Aku menyayanginya.
   Alex berhenti sesaat, menoleh ke arahku. Matanya menyipit dan dahinya yang dialiri darah mengkerut, menandakan bahwa ia kesakitan. Ia tersenyum teduh, menghampiriku, dan mengulurkan tangannya menyuruh ku bangun dari dudukku. "Aku tak apa, kau tak perlu takut," Ia tersenyum lagi, aku masih terdiam terpaku. "Hei? Aku tak apa. Hanya sakit kepala yang membuatku tak tahan. Ayo kita pulang," ajaknya sambil mengelap darah di dahinya dengan jaket abu-abu yang ia ambil dari tasnya. Akupun mengikutinya sambil masih terdiam, aku masih syok. Kemudian kami pulang.
   Ya setidaknya hari ini aku sudah mengerti mengapa Alex sering berbau darah, meskipun alasannya tidak masuk akal. Yang jelas aku sudah mengerti.
                                                             * * *
   Dua belas hari kemudian, keadaanku semakin melemah. Aku benci suara dan bau rumah sakit, aku benci perawat dan dokter yang suka sok tahu tentang diriku, memangnya mereka siapa 'sih? Tapi apalah aku yang bahkan untuk berdiri saja sudah tidak mampu, hanya bisa berbaring di ranjang rumah sakit dengan banyak peralatan medis memasuki tubuhku. Sudah mau mati saja repot sekali, huh!
   Kenapa? apakah aku terlihat aneh? Iya benar. Aku tidak takut mati, itu memang sudah takdirku. Lagipula untuk apa aku hidup? Hanya membuat orangtua ku khawatir dan merepotkan Alex. Aku bahkan sudah rela mati dari dulu, hanya saja memang belum waktunya. Apakah aku masih berjuang untuk hidup? Tidak. Aku hanya berbaring disini menunggu ajal, sedangkan Orangtua ku sibuk mencari jantung sehat yang cocok ditubuhku. Duh, untuk apa coba? Alex juga, dia selalu menjengukku setiap pulang sekolah. Aneh-aneh saja! Lebih baik waktunya untuk berjalan kaki dari rumahnya yang jauh ke rumahsakit itu ia pakai untuk belajar, toh sebentar lagi kan Alex dan aku akan mengikuti Ujian Nasional.
   Ohiya, omong-omong tentang Alex, dia memang mengetahui bahwa waktu ku tidak lama lagi, tetapi ia tidak mengetahui bahwa waktuku tinggal 2 sampa 3 hari lagi. Aku tidakmau membuatnya khawatir dan tidak fokus Ujian, oleh sebab itu aku memintanya untuk tidak menghubungiku selama 5 hari, ini adalah hari ke 2 dan aku tidak tahu entah sedang apa Alex sekarang. Aku harap dia baik-baik saja dan tidak mengulang perbuatannya 2 minggu yang lalu.
                                                         * * *
   "Mam, tolong hubungi Alex dan katakan aku akan mejalankan operasi ini, tinggal 20 menit lagi. Katakan aku harap dia bisa datang sebelum aku menjalankan operasi ini. Aku ingin melihat wajahnya," mohonku pada Mama yang berdiri disebelah ranjang tempatku berbaring. Ia mengangguk kemudian mulai sibuk dengan ponselnya. Tak lama kemudian, perawat-perawat menyebalkan itu mendorong ranjangku masuk ke ruang operasi.
   Ya, sepertinya aku tidak jadi mati. Dihari ke 3 ada sebuah keluarga yang baik hati yang memberikan jantungnya padaku dan ternyata cocok pada tubuh lemahku ini. Dan operasi transplantasi jantung ini akan kujalani sebentar lagi, dan aku sangat membutuhkan Alex disisiku, entah mengapa.
    Setelah aku masuk ke ruang operasi, aku merasa semuanya seperti buram, pandanganku seperti rabun, dan setelah itu gelap.
                                                        * * *
   Aku terjaga, rasanya sudah lama sekali aku tidak membuka mata. Disela-sela pandanganku yang masih buram, aku mendengar suara-suara orang yang berbincang berbisik. Mereka langsung heboh ketika menyadari aku telah sadar. Operasi berjalan lancar rupanya.
   "Grace? Astaga! Akhirnya kau sadar juga, sudah 2 hari kau tak sadarkan diri setelah operasi itu!" pekik Mama girang disambut oleh orang-orang lain di ruangan agak luas ini. Apa? 2 hari? Lama sekali aku tertidur!
    Aku memandangi orang diruangan itu satu persatu, Mama, Papa, Nenek, Tante dan Om Gunawan, Luci adikku, Vena, Bita, dan Julius teman sekelasku, dan... Sebastian? Hey apa yang Sebastian lakukan disini? Sebastian adalah sepupu dekat Alex yang tinggal satu rumah dengan Alex, dia sangat mengenal Alex.
    "Bas? Dimana Alex?" tanya ku dengan heran sebab Alex tidak ada diruangan itu. Apakah Alex marah padaku sampai-sampai tidak datang? Sepersekian detik kemudian tidak ada yang membalas pertanyaanku. Semua malah terdiam dengan air muka yang dingin. Sebastian hanya tersenyum pahit, senyuman pahit yang juga memiliki makna pahit.
                                                    * * *
   "Aku sudah memperingatinya untuk tidak mengendarai motor, tetapi ia tidak mau mendengarkan. Setelah menerima telepon dia langsung mengambil motor dan pergi. Dia bilang dia tidak akan sampai ke rumahsakit dalam jangka waktu 20 menit bila dia berjalan kaki. Aku takut cluster headache-nya yang dapat menyerang kapan saja itu tiba-tiba kambuh dan akan sangat membuyarkan konsentrasinya ketika menyetir. Cluster headache tidak dapat disembuhkan, memang tidak berbahaya tetapi amat sangat sakit rasanya, seperti ditusuk ribuan duri dan jarum tajam diseluruh kepala, terutama dekat mata, dan rasa sakitnya tidak main-main," penjelasan Sebastian membuatku muak. Aku berusaha menulikan telingaku, tidak mau mendengarkan lebih lanjut. Hatiku bagai terpukul oleh ribuan godam baja yang menyakitkan, mentalku sangat terpukul mengetahui kenyataan bahwa Alex telah meninggalkanku lebih dulu. Aku tidak bisa menangis, air mataku bagai tersumpal dengan kenyataan pahit ini. 
   Ingatan ku beralih pada 5 hari yang lalu...
   "Lex, sebentar lagi kita Ujian, kau harus fokus. Tolong jangan berhubungan denganku dan jangan jenguk aku selama 5 hari kedepan ini. Aku memintamu untuk berjanji,"
   "Tapi Grace? Mengapa? Aku ingin tetap menemanimu!"
   "Ayolah Lex, berjanjilah padaku."
   "Tidak Grace, aku tidak mau meninggalkanmu meskipun hanya 5 hari!"
   "Kumohon.."
   "Oke, baiklah. Tapi aku ingin kau berjanji padaku untuk tetap hidup, berjanjilah padaku untuk tetap berjuang mencari harapan untuk kehidupan. Berjanjilah padaku untuk sembuh, aku akan disini menunggu kesehatan mu pulih. Berjanjilah padaku!"
   "Iya Lex, aku berjanji!"
Lex lihat! aku sudah sehat sekarang, aku sudah pulih. Aku sudah melunasi segala janjiku. Dimanakah kau? Yang menungguku hingga aku sembuh? DImanakah engkau Lex? Aku menyayangimu!
                                              * * *
Rabu, 15 April 2015.
   "Lex, apakah cluster headache itu seperti sakit kepala?" tanyaku pada sebongkah batu nisan berukir nama sahabatku, Alex Pratama. Aku mengelus batu nisan itu, berusaha menahan kesedihan tiada tara yang kurasakan.
  "Ya, tapi lebih sakit" Sebastian yang menemaniku ke pemakanan menjawab pertanyaanku. Wajahnya teduh menatapku, seakan menyuruhku agak tetap tenang dan tidak putus asa.
  "Apakah bisa disembuhkan?" tanyaku lagi, masih menatap batu nisan indah yang memiliki kenangan sejuta perasaan.
  "Tidak. Tetapi tidak berbahaya," Sebastian lagi-lagi menjawab, memegangi pundakku yang terduduk kaku sambil mengelus batu nisan dihadapanku. 
  "Semoga kau bahagia di sana Lex, tunggu aku..." bisikku pelan.